BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama
yang menempatan pendidikan, dalam
posisi yang sangat vital. Bukanlah sesuatu yang kebetulan jika lima ayat
pertama yang diwahyukan Allah kepada Muhammad dalam surat al-Alaq,
dimulai dengan perintah membaca, iqra’. Disamping, itu pesa-pesan
al-Qur’an dalam hubungannya dengan pendidikan pun dapat dijumpai dalam berbagai
ayat dan surat dengan aneka ungkapan pernyataan, pertanyaan dan kisah. Lebih kusus
lagi kata ‘ilm dan derivasinya digunakan paling dominan dalam al-Qur’an
untuk menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan.
Menegaskan kenyataan diatas, pasangan sarjana muslim kontemporer, Ismail Raji
al-Faruqi dan Lois al-Faruq membuat pernyataan bahwa, “Islam
mengidentifikasikan dirinya sendiri dengan ilmu. Bagi Islam, ilmu adalah syarat
dan sekaligus tujuan dari agama ini”.
Dalam relitas
sejarah secara epistemologi, perkembangan teori pendidikan Islam, sebagaimana
yang diungkap Tedi Priyatna, cukup unik. Setidaknya ada dua tipe perumusan
teori pendidikan Islam yang berkembang, yaitu: pertama, rumusan yang dihasilkan
dari sikap atau respon umat Islam terhadap masalah-masalah pendidikan dengan
mengembalikannya pada sumber normative al-Qur’an dan Hadits; kedua, hasil
introdusir dari teori-toeri pendidikan yang berkembang
dan melegitimasikannya
melalui sumber normative tersebut. Dengan demikian untuk saaat ini, harus
diakui sejujur jujurnya bahwa secara materi atau isi, teori pendidikan
Islam masih banyak memperlihatkan teori-teori hasil reduksi dari sejumlah
pemikiran barat atau lainnya, sehingga terkesan bahwa teori pendidikan Islam
hanyalah “nama baru” dari suatu teori yang ada yang sudah dilegitimasi oleh
rujukan-rujukan sumber normative.[1]
Walaupun demikian,
ketika kita mengkaji secara serius sejarah Islam dimasa lalu, maka kita harus
berbangga hati atas sejumlah prestasi yang sudah dihasilkan oleh para tokoh
pendidikan Islam. Kajian tersebut meyakinkan kita akan adanya realitas
penyelenggaraan pendidikan pada masa Islam klasik yang tidak kalah dibanding
pendidikan modern saaat ini. Bagaimana mungkin komunitas peradaban mampu
menguasai dunia tanpa tanding, jika tanpa didukung oleh kualitas yang
pendidikan yang memadai, tulisan sederhana ini akan sedikit mengupas tentang
pemikiran orisinil salah satu tokoh pendidikan Islam, yang dikenal luas di
kalangan barat dan timur sebagai tokoh sejarah dan sosial yaitu Ibnu Khaldun.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat oleh penulis
dalam makalah tentang Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan Islam ini
adalah :
Riwayat
Singkat Hidup Ibnu Khaldun Dan Karya-Karyanya.
Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang
Pendidikan.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu.
Pengertian dan
Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang materi
pendidikan.
Pandangan Ibnu
Khaldun tentang pembelajaran.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Ibnu Khaldun Dan Karya-Karyanya
A.I Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Sebuah ciri khas
yang melatar belakangi kehidupan Ibnu Khaldun adalah ia berasal dari
keluarga politis, intelektual dan aristokrat. Suatu latar belakang yang jarang
dijumpai orang. Sebelum menyeberang ke Afrika keluarganya adalah para pemimpin
politik di Moorish, Spanyol selama berabad-abad. Dalam keluarga elit semacam
inilah ia dilahirkan pada bulan Mei 1332 / 732 H di Tunisia.[2]
Nama lengkap Ibnu Khaldun yaitu Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn
Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman
ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar
atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun.
Latar belakang
keluarga dan situasi saat ia dilahirkan serta pola perjalanan hidup beliau
nampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya.
Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya, sedangkan
masa ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam,
terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan
teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.[3]
Pada tahap awal
kehidupannya, ibnu Khaldun memperoleh pendidikan dari keluarganya sendiri,
gurunya yang pertama adalah ayahanya sendiri.[4]
Ia belajar membaca dan sekaligus belajar membaca al-Qur’an dalam usia sekitar
tujuh tahun, kemudian belajar bahasa, filsafat, manthiq, ilmu pasti, ilmu
syar’i, hadits, sehingga pada usia 20 tahun Ibnu Khaldun merupakan ilmuwan yang
dikagumi.
Selanjutnya, Ibnu
Khaldun lebih banyak bergumul dalam bidang politik di bandingkan dengan
keilmuan. Namun, sangat menakjubkan ia menjadi pemikir yang pakar dalam bidang
sejarah umat manusia melibihi bidang kepakarannya dalam bidang politik. Karir
tokoh besar ini bermula semenjak ia ditunjuk oleh Ibnu Tafirakin, seorang
perdana menteri dari raja Abi Ishak al-Hafshi yang berkuasa di Tunisia, pada
pertengahan abad VIII H, sebagai sekertaris yang menyalin berbagai dokumen
penting.[5]
Sebagai politisi
dan negarawan profesional, Ibnu Khaldun banyak berpindah dari satu tempat
ketempat lain. Mulai dari Tunis, Andalusia, Granada, kemudian Fez Maroko, akan
tetapi karir politiknya seringkali terganggu sehingga beliau mengalami
kejenuhan yang mendorongnya untuk meninggalkan dunia politik dan menekuni dunia
keilmuan. Pada tahun 784 H. Ibnu Khaldun pergi ke Cairo Mesir, beliau disana
dipercaya mengajar di universitas al-Azhar, mengadakan seminar-seminar berbagai
macam keilmuan. Selanjutnya, Ibnu Khaldun menekuni dunia keilmuan dengan
mengajar, menulis dan berdiskusi. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H / 1406 M,
di Cairo sebagai ilmuwan yang meninggalkan pemikiran besar antara lain dalam
bidang pendidikan.[6]
Dari riwayat
singkat Ibnu Khaldun tersebut, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang
menyebabkan Ibnu Khaldun memiliki kecemerlangan pikiran sebagai seorang ahli
sejarah dan penemu ilmu pengetahuan, yaitu antara lain:
dia
mendapatkan kecerdasan fitrah yang luar biasa;
mempunyai
kemampuan dalam mengadakan pengamatan dan mengaitkan antara sebab dengan
musababnya.
mempunyai
pengalaman yang luas dalam kehidupan politiknya yang penuh dengan berbagai
goncangan dan revolusi.
sering
mengembara antara Barat dan Timur dan atau Eropa dengan Asia, kemudian
menyebrang ke Afrika Utara dengan berbagai kondisi kehidupannya.
memiliki
ilmu pengetahuan yang luas, yang disatu sisi diperolehnya dari membaca dan
mempelajari kitab-kitab, dan di sisi lain dari pengamatannya yang cermat
selama mengembara dan bergaul denganbermacam-macam bangsa dan warga Negara.
A.II. Karya-Karya Ibnu Khaldun
Ibnu
Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”.
Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena
karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang
telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya
monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur
begitu mengaguminya.[7]
Sebenarnya
Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa
mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan
ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. Adapun hasil
karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:
Untuk
buku pertamanya adalah Lubab al-muhassal, yang telah dia selesaikan di
bawah pengawasan guru favoritnya, al-Abili. Ketika Ibnu Khaldun masih
berusia 19 tahun dan masih tinggal di Tunis.
Sebelum
menulis kitab al-I’bar, ada satu karyanya yaitu Shifa’al-sa’il
yang ia tulis selama ia singgah di fez.
Kitab Muqaddimah,
yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari
bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang
merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang
mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini
adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
Kitab al-‘Ibar,
wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar,
wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan
Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik
Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang
Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri
dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid
pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu
pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu
pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari
empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan
tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti
mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal
dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi
(Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku
Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi
tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka,
khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
Kitab
al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif,
dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi. Merupakan bagian
terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai
kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.[8]
B.
Pemikiran
Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan & Pandangan Tentang manusia
Pada bagian ini akan dibahas
pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun
dalam awal pembahasannya pada bab VI dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa
ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan
perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi
ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya
masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu
dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis
insani. karena alasan itulah, sebelum mendefinisikan tentang ilmu dan
pendidikan, alangkah baiknya jika pembahsan awal dimulai dengan pandangan Ibnu
Khaldun tentang manusia.
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu
menekankan pada segi kepribadiannya. Ia lebih banyak melihat manusia dalam
hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Ibnu Khaldun memandang bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang berbeda dengan
berbagai makhluk lainnya. Manusia, menurut Ibnu Khaldun adalah makhluk berpikir.
Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan). dan sifat-sifat semacam
ini tidak dimiliki makhluk lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial
manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan.
Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan
Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Lebih
lanjut Ibnu Khaldûn mengatakan bahwa, kemampuan manusia untuk berpikir baru
diperolehnya setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan di dalam
dirinya. Itu dimulai dari kemampuan membedakan (tamyiz). Sebelum manusia
memiliki tamyiz, dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan. Sebelum pada tahap
ini manusia sama sekali persis seperti binatang. Kemudian Allah memberikan
anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia
adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia
mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ
tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa
yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu
berfikir tentang semuanya.
Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu
pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang
menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia
mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu
pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta
memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya.
Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat
menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu
ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk
memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan,
dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan
bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.
Dari sinilah timbul yang dinamakan dengan proses pendidikan dan pengajaran.
Selanjutnya, sebagai makhluk sosial,
pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut pemanfaatannya tidak hanya untuk
kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan bersama, kepentingan
masyarakat (homo socius). Bahkan pertanggungjawaban perilaku dirinya, juga
tidak hanya tertuju kepada individu yang bersangkutan, melainkan juga tertuju
kepada masyarakat. Dan dalam proses sosial dalam bentuk interaksi sosial,
manusia tidak terlepas dari konteks sosial yang disebut “lingkungan sosial”.
Lingkungan sosial ini besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi
individu. Sebagaimana Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya mengatakan bahwa:
“Manusia adalah makhluk sosial (al-Insanu
madaniyyun bi al-Thab’i). pernyataan ini mengandung bahwa seorang manusia
tidak bisa hidup sendirian dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan
kehidup-an bersama. Dia tidak akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur
kehidupannya dengan sempurna secara sendirian. Benar-benar sudah menjadi
wataknya, apabila manusia butuh bantuan dalam memenuhi kebutuhannya.”
Manusia memerlukan pendidikan, karena ia
dalam keadaan tidak berdaya, dan ketidakberdayaan itu memerlukan bantuan orang
lain. Sebab secara esensial bahwa pendidikan adalah media untuk menolong dan
menjadikan manusia menjadi manusia.
C.
Pandangan
Ibnu Khaldun Tentang Ilmu
Selanjutnya Ibnu
Khladun berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan di
pengaruhi oleh peradaban, ia menyebutkan bahwa hal ini dapat dilihat dari
Negara Qairawan dan Cordova yang merupakan dua pusat kebudayaan
Maghribi dan Andalusia. pada masa itu, peradaban disana berkembang pesat dan
terdapat pasar-pasar yang hidup dan lautan yang luas bagi beracam ilmu
pengetahuan dan keahlian.
Dalam Muqaddimah,
Ibnu Khaldun memandang bahwa ilmu dan pendidikan sudah merupakan tabiat di
dalam diri manusia. Ia juga menganggap bahwa ilmu dan pendidikan sebagai suatu
gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya di
dalam tahapan kebudayaan. Selain itu ilmu dan pendidikan merupakan salah satu
industri, sedangkan industri, lahir di dalam masyarakat karena urgensinya yang
begitu penting bagi kehidupan individu, yang merupakan salah satu jalan untuk
mendapatkan rizki.
Ibnu Khaldun juga
berpendapat, bahwa dari balik upayanya untuk mencapai ilmu itu, manusia
bertujuan dapat mengerti tentang berbagai aspek pengetahuan, yang dipandang
sebagai alat yang membantunya untuk bisa hidup dengan baik di dalam masyarakat
maju dan berbudaya.
D.
Pengertian
dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Di dalam kitab
Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas,
ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu
Khaldun bahwa: “Barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan
terdidik oleh zaman”, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang
dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup
guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia
akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.
Dari pendapatnya
ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian
yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang
dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana
manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa
alam sepanjang zaman.
Di dalam Muqaddimahnya, Ibnu Khaldun tidak
merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang
tersirat, secara umum dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam
pendidikan adalah sebagai berikut:
Untuk mengembangkan intekektulitas
peserta didik. Ia memandang bahwa aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya
pikiran dan kematangan individu. Kemudian, kematangan ini akan mendapatkan
faedah bagi masyarakat. Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa ”Manusia secara
esensial adalah bodoh dan menjadi berilmu melalui pencarian pengetahuan”.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Nahl: 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibu mu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. Pernyataan Ibnu Khaldun ini
didasarkan pada pemikiran bahwa: “Manusia adalah termasuk jenis binatang dan
bisa dibedakan dari jenisnya karena kemampuannya untuk berpikir”. Dengan
demikian, pencarian ilmu pengetahuan merupakan suatu keniscayaan, karena ilmu
pengetahuan dan pengajaran merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.
Memperoleh ilmu pengetahuan sebagai alat
untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia berbeda dengan
makhluk lainnya karena kemampuannya untuk berpikir. Menurut Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa:
Dan dengan akal sebagai alat berpikir itu, manusia
mendapat petunjuk untuk memperoleh penghidupannya dan saling membantu dengan
sejenisnya serta mengadakan kesatuan sosial yang dipersiapkan bagi kerja sama,
dengan kemampuan itu pula, manusia siap menerima segala apa yang dibawa oleh
para nabi dan Rasul-Nya dari Allah Swt., dan mengamalkan serta mengikuti apa
yang berguna bagi akhirat”.
Dari sini dapat diketahui bahwa ada dua aspek
penting yang dapat dicapai oleh kemampuan akal, yaitu aspek sosial dan
spiritual. Keduanya dapat dimiliki oleh manusia melalui proses aktualisasi dari
generasi ke generasi. Dengan kata lain, bahwa manusia tersebut akan mencari
orang-orang yang sejak pertama kali sudah memiliki pengetahuan. Dengan harapan
bahwa dia akan memberikan pengetahuan (transfer of knowledge)
tersebut kepada dirinya. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan: ”Lalu ia pun
berpulang pada orang yang telah dahulu memiliki ilmu, atau yang punya kelebihan
dalam suatu pengetahuan, yang menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siapa yang
mencarinya. Orang itu kemudian menerimanya dari mereka dan memberikan perhatian
penuh guna memperoleh serta mengetahuinya.
Memperoleh lapangan pekerjaan yang
digunakan untuk memperoleh rizki. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa: “Ketahuilah
bahwa menurut wataknya manusia membutuhkan sesuatu untuk dikamakan, dan untuk
melengkapi dirinya dalam semua keadaan dan tahapan hidupnya sejak masa pertama
pertumbuhan hingga masa tuanya.[9] Maka
untuk mencukupi kebutuhan itu diperlukan usaha-usaha mencari rizki. Inilah yang
disebut dengan penghidupan yang dimaksud oleh Ibnu Khaldûn. Sebab pendidikan
Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau spiritual semata-mata,
tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan tujuan-tujuan, kurikulum, dan
aktivitasnya. Kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan
antara agama dan ilmu pengetahuan atau menaruh perhatian pada segi-segi
spiritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatannya. [10]
E.
Pandangan Ibnu Khaldun Tentang
Materi Pendidikan
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan,
karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka
dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang
banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah).
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis yang dalam
hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang
utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang
diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah
itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu
fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah).
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya
untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah
ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun
ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: (a).
Ilmu logika, (b). Ilmu fisika, (c). Ilmu metafisika dan (d). Ilmu matematika.
Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan
sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi
ilmunya.
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun
membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam,
yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
Ilmu agama (syari’at), yang
terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu
kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika).
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu
agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan
ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu
filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang
pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah
dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu
alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan
pertama.
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu
pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu
‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang
pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena
membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah
(filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama.
F.
Pandangan Ibnu Khaldun Tentang
Pembelajaran
Dalam
hubungannya dengan metode pembelajaran, pemikiran Ibnu Khaldun terlihat dari
beberapa hal berikut ini, diantaranya:
Mengajarkan pengetahuan kepada pelajar
hanya akan efektif bila di lakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi
setapak dan sedikit demi sedikit.
Pada awalnya, guru hendaknya mengajarkan
tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang akan diajarkan, secara
umum dan menyeluruh dengan mempertimbangkan kemampuan akal dan
memperhatikan kesiapan pelajar memahami apa yang akan diberikan kepadanya.
Kemudian guru hendaknya menyampaikan
pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan
berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik
memperoleh pemahaman yang sempurna.[11]
Selanjutnya, guru harus memberikan
perbaikan kepada seluruh materi pelajaran yang diberikan, dengan demikian ia
tidak meninggalkan pelajaran yang tidak jelas dan samar-samar.
Seorang guru tidak boleh memperkenalkan
permasalahan disiplin ilmu lainnya kepada para siswa sebelum para siswa
tersebut memahami suatu disiplin ilmu secara penuh, dan telah pula benar-benar
mengenal pelajaran tersebut.[12]
Disamping itu Ibnu Khaldun juga
menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah
terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk
berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau
dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan
inovatif.
Ibnu Khaldun tidak menyukai pembelajaran
dengan metode “hafalan“, karena dipandangnya metode tersebut tidak
efektif dalam menanamkan ilmu kepada peserta didik, dan tidak efisien karena
banyak membuang waktu tanpa memberikan hasil yang inginkan.
Ibnu Khaldun juga tidk suka mengajar
dengan kekerasan, ia berpendapat bahwa pengajaran yang dilakukan dengan cara
yang keras dan kaku bisa membahayakan bagi keberadaan murid, terutama
padamasa-masa kecil, karena itu merupakan kebiasaan yang jelek dan akan
berdampak menjadi perilaku buruk dan kenakalan murid dikemudian hari.
G.
Pandangan Ibnu Khaldun Tentang
Pendidik
Dalam
pandangannya tentang seorang pendidik Ibnu Khaldun memberikan beberapa
penjelasan, diantaranya adalah:
Ibnu Khaldun memberikan petunjuk bahwa
seorang guru pertama sekali harus mengetahui dan memahami naluri, bakat dan
karakter yang dimiliki para siswa.[13]
Ibnu Khaldun menganjurkan agar para guru
bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya,
berperilaku lembut dan tidak menerapkan perilaku keras dan kasar. Sebab, sikap
demikin dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka.
Ibnu Khaldun dapat juga menerima adanya “hukuman” bagi peserta didik apabila
sudah tidak ada jalan lain, jadi hukuman tersebut merupakn pilihan terakhir
didalam mengatasi masalah, dan itupun harus dilakukan secara adil dan setimpal.
Keteladanan guru merupakan keniscayaan
dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Khaldun lebih mudah
dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang
mereka saksikan. Fungsi guru dalam pendidikan Islam memang bukan sebatas
sebagai pengajar bidang studi, tetapi berfungsijuga sebagai pemimpin yang
membuat perbaruan dan perbaikan melalui keteladanannya.
Seorang guru harus mngetahui kondisi
kejiwaan dan kesiapan peserta didiknya ketika hendak memberikan pelajaran.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mengakhiri
tulisan tentang konsep pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun ini ada beberapa
hal yang menurut penulis perlu mendapatkan perhatian. Yakni, bahwa sebagai
ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai
pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan
sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang.
Dari
segi metode, materi, maupun pendangannya tentang guru dan peserta didik yang
ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati. Walaupun di
dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun
hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya
terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan
pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan
bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan,
akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan
karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia.
Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup
bermasyarakat.
Adapun
metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan
prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan
pendidikan. Begitu juga sosok seorang guru adalah teladan yang patut ditiru,
yang mengerti akan kejiwaan peserta didiknya dan bisa menggunakan metode dengan
sebaik-baiknya. Karena menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga
jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk
perbuatan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Beberapa
Pemikiran Pendidikan Islam, terjemah: Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian
Ilahi Press. 1996.
Alavi, S. M. Ziauddin, Pemikiran
Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, terjemah: Abuddin Nata,
Bandung: Angkasa. 2003.
Hasan, M. Tholhah, Dinamika Pemikiran
tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press. 2006.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun,
terjemah: Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011.
Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman
(ed), History of Islamic Philosophy, London: Routledge. 1996.
Nata, Abudin Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Logos. 1999.
______, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama Jakarta. 2005.
Nurhamzah, Jurnal Pendidikan
Keagamaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati, Bandung:
Vol. XXIV, No. 1, April 2009.
Priatna, Tedi, Reaktualisasi
Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiah dan
Insaniah di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004.
Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga Aliran
Utama Teori Pendidikan Perspektif Sosiologis Filosofis, terjemah: Mahmud Arif,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2002.
Sheikh, M. Seed, Studies in Muslim
Philoshophy, Delhi: Adam Publisher. 1994.
Sulaiman, Fathiyyah Hasan, Pandangan
Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, terjemah: Herry Noer Ali
(Bandung: Diponegoro. 1987.
[1]
Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar mewujudkan
pendidikan bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia (Bandung: Pustaka
Bani Quraisy. 2004), 27.
[2]
Abudin nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos. 1999), 171.
[3]
Abudin nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama
Jakarta. 2005), 221.
[4]
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan
Pendidikan, terjemah: Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro. 1987), 13.
[5]
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Perspektif
Sosiologis Filosofis, terjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya. 2002), 173.
[6]
M. Tholhah hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora
Press. 2006), 14.
[7]
M. Seed Sheikh, Studies in Muslim Philoshophy (Delhi: Adam Publisher.
1994), 185.
[8]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka
Firdaus), 532.
[9]
Nurhamzah, Jurnal Pendidikan Keagamaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Gunung Djati (Bandung: Vol. XXIV, No. 1, April 2009) 15.
[10]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 543
[11]
S. M. Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan
Pertengahan, terjemah: Abuddin Nata (Bandung: Angkasa. 2003), 75-76.
[12]
Ibnu Kaldun, Muqaddimah,
537.
[13]
Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan, 75.
[14]
M. Tholhah hasan, Dinamika Pemikiran, 146-148.
BetMGM Casino PA - JamBase
ReplyDelete› casinos › mr-gamble- › casinos › mr-gamble- Nov 3, 2021 부산광역 출장마사지 — Nov 3, 나주 출장샵 2021 정읍 출장안마 This app is currently available to Pennsylvania residents. Download 경주 출장마사지 BetMGM Casino and enjoy it on your Android or iOS device absolutely free! Rating: 4.6 1,425 reviews 삼척 출장샵