BAB 1
PENDAHULUAN
A LATAR BELAKANG
Kehamilan dapat terjadi melalui
perkawinan yang legal, maupun melalui hubungan akibat perkosaan, atau hubungan
suka-sama suka diluar nikah yang disebut dengan perzinahan/ prostitusi. Apalagi
pergaulan bebas antara muda mudi , seperti yang terjadi saat ini, seringkali
membawa hal-hal yang tidak dikehendaki, yakni terjadinya kehamilan sebelum
sempat dilakukan pernikahan. Dengan demikian hamil sebelum diadakan akad nikah
telah menjadi problema yang membutuhkan pemecahan,sehingga terjadi kegelisahan
dikalangan masyarakat maupun para ulama , yang ditangan merekalah terletak
tanggung jawab yang sangat besar, terlebih lagi menyangkut masalah hukum
islam/syari’at. Kebiasaan Orang tua yang merasa malu karena putrinya hamil
diluar nikah , mereka biasanya berusaha menikahkan putrinya dengan laki-laki
yang menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya.Sekarang ini menikahi wanita
hamil karena zina bukanlah masalah baru karena pada zaman rasulullah juga
pernah terjadi. Padahal islam menganjurkan nikah dan melarang zina,karena zina
adalah sumber kehancuran.
B RUMUSAN MASALAH
· Bagaimana hukum menikahi wanita hamil karena cerai atau
ditinggal suami?
· Bagaimana hukum menikahi wanita hamil karena zina?
· Bagaimana hukumnya wanita hamil karena zina menikah
dengan orang yang tidak menghamilinya?
· Bagaimana status anak yang akan dilahirkan?
C. METODE
PENULISAN
Penulis mempergunakan metode kepustakaan dan gogling. Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah :
·
Studi Pustaka
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga
penulisan makalah ini.
·
Googling
Dalam pencarian
materi makalah ini kami menggunakan jaringan internet mencari materi yang
berkaitan dengan hal atau materi yang akan kita kupas dalam makalah ini
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA CERAI ATAU
SUAMI MENINGGAL
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwa,
“Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat”.
Laki-laki yang menikah dengan seorang wanita yang sedang hamil, hukumnya
yaitu sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 4 yaitu
“Dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya” .
Dengan demikian, perempuan yang hamil tidak boleh menikah sebelum janin
yang dikandungnya lahir. Alasan keharaman nikah hamil itu demi menghormati sperma
suaminya yang suci karena telah menikahi.[i]
Pada ayat lain
Allah SWT menjelaskan,
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru( suci) Tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah (perbaikan).
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (Al-Baqarah).
Ayat diatas menurut Ibn Mas’ud, turun setelah ayat tentang idah (masa
tunggu) karena kematian suaminya (Qs. Al-Baqarah:234). Disisi lain, ibn Abbas
dan Ali ibn Abi Thalib memandang ayat (Qs. Al-Thalaq:4 tidak terkait dengan
idah kematian. Dengan demikian, masa idah bagi wanita yang hamil diambil waktu
yang lebih lama. Diantara tujuan idah adalah untuk mengetahui keadaan rahim
sebelum menikah[ii].
Atas dasar ini, al-Razi berpendapat bahwa idah hamil itu sampai kelahiran
bayi yang dikandung. Idah ini berlaku dalam segala keadaan (fi jami’
al-ahwat). Artinya, idah hamil tidak hanya berlaku bagi wanita yang dicerai
atau ditinggal mati suaminya, akan tetapi perempuan hamil akibat perzinaan juga
harus menjalani idah. Hanya saja para ulama masih berbeda pendapat dalam hal
perlu atau tidaknya idah bagi pezina yang hamil.
Dan
hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan
nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan
janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu;
maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun." (Al-Baqarah:
235).
B Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena
Zina
Para ulama berbeda berpendapat
mengenai hukum menikahi wanita yang hamil diluar nikah, apakah mereka
dikenakan had(hukuman) atau tidak, sebagian ulama berpendapat dikenakan had dan
sebagian lagi tidak.[iii] Selain itu
diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa
wanita hamil karena zina ada masa iddahnya,dan juga ada yang berpendapat
tidak.
Menurut
pendapat para ulama tentang masalah ini yaitu,
·
Imam
Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Imam HambaliÃ
membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil
karena zina,asalkan yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya,sebab
hamil yang semacam ini tidak menyebabkan
haramnya dinikahi.
·
Abu
Yusuf dan Riwayat Imam Abu Hanifah
Ã
Bahwa tidak boleh menikahi wanita yang hamil karena
zina, sebelum ia melahirkan, agar nutfah(darah) suami tidak bercampur dengan
tanaman orang lain.
·
Riwayat lain Abu Hanifah
Ã
Bahwa perkawinan dengan perempuan berzina yang hamil, sah,
tetapi tidak boleh melakukan coitus/ hubungan badan sebelum anaknya
lahir.[iv]
·
Imam
Muhammad As-Syaibani
Ã
Bahwa perkawinan dengan wanita yang dihamili laki-laki
lain hukumnya sah,tetapi haram baginya melakukan hubungan badan hingga bayi yang dikandungnya lahir.
·
Ibn
Qudamahà Pendapatnya sejalan degan
imam muhammad As-Syabani, namun beliau menambahkan bahwa,wanita itu harus terlebih dahulu dipidana dengan pidana
cambuk.
·
Prof.Abdul
Halim Mahmudà Bahwa akad
nikah perempuan yang hamil diluar nikah sah. Apabila rukun syaratnya pernikahan
terpenuhi,seperti wali saksi,dan mahar.adapun status hukum hubungan sebelum
akad adalah hubungan zina,berdosa dan pelanggaran hukum. Bagi laki-laki dan
perempuan yang melakukannya, hukuman dan sanksinya disesuaikan dengan pelaku perzinahan.[v]
C Hukum
Wanita Hamil Yang Menikah Dengan Orang Yang Tidak Menghamilinya
Berdasarkan
sebab turunnya surat An Nur ayat 3,dapat diketahui bahwa Allah mengharamkan
seorang laki-laki yang bukan menghamilinya menikahi wanita yang hamil karena
zina. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan laki-laki yang beriman.[vi]
Ketentuan
ini diatur juga oleh undang-undang
perkawinan maupun KHI pasal 3 yang
berbunyi,
·
Seorang
wanita hamil diluar nikah,dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
·
Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
·
Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
Dari ketentuan pasal 53 diatas, KHI secara tegas mengatur bahwa perkawinan
hamil dapat dilakukan asalkan yang menikahinya adalah laki-laki yang
menghamilinya. Ketentuan ini juga sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam
Al-Quran surat An-Nur ayat 3 yang
artinya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina atau perempuan yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin”. Persyaratan ini dipertegas lagi oleh surat Al-Baqarah
ayat 221 yang artinya ”Bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang
hamil diharamkan oleh Allah untuk menikahinya”. Perkawinan semacam ini juga
tidak perlu menunggu habis masa iddah wanita
hamil tersebut,dan tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandungnya lahir.
Menurut pendapat para ulama tentang masalah ini
yaitu,
·
Abu
hanifah dan imam syafi’i
berpendapat bahwa, menikahi wanita hamil yang dinikahi laki-laki lain hukumnya
sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain, dan boleh mengumpulinya
karena janin yang telah ditanam tidak akan ternoda oleh benih yang ditanam.
·
Imam
Abu Yusuf, bahwa
perkawinannya fasid(batal). Hal ini didasarkan kepada ayat 3 surat An –Nur.
·
Imam
Muhammad as-Syaibani,
bahwa perkawinan dengan wanita hamil sah,tetapi haram melakukan hubungan badan
,sampai anak yang dikandungnya lahir. Pemikirannya ini menghendaki pemisahan
perkawinan hamil dengan anak yang dikandung agar tidak terjadi ikhtilath
nasab/percampuran keturunan.
·
Malik
dan Ahmad,tidak sah menikah
dan tidak boleh bergaul,dimana wanita hamil karena zina wajib iddah dan tidak
sah aqad nikahnya,karena tidak halal menikahi wanita hamil sebelum melahirkan.[vii]
·
Abu
yusuf dan Zafar, karena
wanita itu hamil dari hubungan dengan
lelaki lain,maka haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil
lainnya, karena hamil itu mencegah bersetubuh,maka juga mencegah akad
nikah,sebagaimana hamil yang ada nasabnya.Oleh karena tujuan nikah itu
menghalalkan hubungan badan dan apabila tidak berhubungan badan maka pernikahan
itu tidak ada artinya.
·
Mereka
mendasarkan pendapatnya kepada sabda Nabi Muhammad S.A.W
·
“barang
siapa yang beriman kepda Allah dan Hari Akhir maka janganlah menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (
H.R.Abu Dawud)
·
dan
dasar berikut ini, “perempuan hamil dilarang dinikahi sampai ia melahirkan.”
(H.R.Abu Dawud).
·
Drs.Cut
Anwar,MA, mengatakan bahwa
tidak sah menikah karena larangan-larangan yang dikemukakan ayat Al-Quran yang
secara tegas melarangnya, dilihat dari sudut biologis dengan menikahi wanita
yang tidak halal digauli(untuk sementara) menjadi kesulitan bagi
laki-laki,karena sulit bagi seorang laki-laki membebndung syahwatapalagi mereka
tinggal serumah.Ia juga khwatir apabila si laki-laki tergelincir melakukan
larangan itu. Maka menurutnya lebih baik tidak menikah dari pada menikah tapi
tidak boleh berkumpul.
Sedangkan pernikahan dengan orang yang menghamilinya menurut para ulama
hukumnya sah, mereka boleh berhubungan layaknya suami istri. Dan ini juga tidak
bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat 3, karena status mereka sebagai
pezina. Tetapi seorang yang menghamili wanita kemudian melaksanakan akaq nikah,
masalahnya tidak selesai,karena mereka telah berdosa dan melanggar hukum
Tuhan,maka mereka wajib bertaubat yaitu taubat nasuha.Menikahkan wanita pezina
dengan laki-laki yang menzinahinya adalah sah,apabila syarat dan rukunnya
terpenuhi seperti wali,saksi,dan mahar. Adapun status hukum hubungan sebelum
akad adalah hubungan zina ,dosa dan pelanggaran hukum,laki-laki dan perempuan
yang melakukannya adalah pelaku pelanggaran hukum dan sanksinya adalah sanksi
yang biasa yang dikenakan kepada pelaku perzinahan.
D.
Status Anak Yang Dilahirkan
Pada dasarnya nasab anak zina
dihubungkan pada ibunya.[viii][8]
Sesuai dengan hadits Nabi “ Al- Walidu Lil Firsasyi( seorang anak adalah milik
ibunya).” Maka anak itu tidak di nasabkan kepada si ayah,walaupun si ayah
mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya.
M. Yahya Harahahap mengatakan bahwa dilegalkannya perkawinan hamil antara
lain adalah untuk memberikan kepastian pada kedudukan anak yanag akan dilahirkan,
sehingga silsilah keturunan anak tersebut dapat dinisbatkan ,kepada ibu dan
laki-laki yang menghamilinya. Pemikiran M. Yahya ini juga telah terumuskan
didalam pasal 99 KHI, yang menyatakan anak yang sah adalah,
·
Anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
·
KHI
membuka kemungkinan bagi tertampungnya anak yang lahir akibat perkawinan hamil
ke dalam pengertian anak sah,sekalipun anak itu dilahirkan beberapa hari
setelah perkawinan dilaksanakan.
·
Hasil
perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
.
Dr. Wahab al Rakhly,mengupas hal ini dengan menetapkan batasan waktu
kelahiran seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang lain yang lebih
mengetahui tentang kehamilannya adalah si wanita itu sendiri. Menurutnya bila
bayi itu lahir setelah 6 bulan dihitung sejak akad maka bayi itu di nisbahkan kepada suami dan kurang
dari 6 bulan dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila si suami mengatakan bahwa
anak itu adalak anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak itu dari hubungan zina. Pengakuan ini menurutnya
, menetapkan nasab kepada suami berdasarkan aqad nikah yang lalu, karena orang
islam harus berbuat baik dan menutup aib.[ix]
Prof. Abdul Halim Mahmud, memang hukum positif mengakui anak hasil zina tersebut
sebagai anak yang sah dan memiliki hak-hak hukum sebagaimana yang dimilki anak
yang lahir dari pernikahan yang sah, lain halnya menurut syariat islam.Islam
sangat menjaga kesucian kehormatan,dan kehidupan yang berbudi. Sebab,
mengakui anak hasil hubungan diluar
nikah sama dengan mengakui perzinahan dan buahnya. Dengan demikian , islam
menolak anak hasil hubungan di luar nikah. Dan anak hasil zina tidak memiliki hak waris dari
laki-laki yang menzinahi ibunya.
Menurut pendapat
para ulama yaitu,
·
Jika
laki-laki yang menikahinya bukan yang menghamilinya.
Para ulama
sepakat bahwa status anak tersebut adalah anak zina,dan nasabnya diberikan
kepada ibunya,dan tidak ada nasab dengan laki-laki yang menikahi ibunya dan
sesudah ibunya melahirkan sebaiknya dinikahkan ulang dengan laki-laki yang
mengawininya ketika ia hamil.
·
Jika
laki-laki yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya, maka para ulama
berpendapat bahwa,
·
Jika
pernikahan dilakukan setelah janin itu berumur 4 bulan ,maka status anak itu
adalah anak zina, nasabnya hanya dihubungkan kepada ibu yang melahirkan. Tetapi
jika pernikahan itu dilakukan sebelum janin berumur 4 bulan ,maka anak itu
dianggap anak sah dari suami istri tersebut.
·
Walaupun
janin yang ada dalam kandungan wanita itu berumur beberapa hari kemudian wanita
itu dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya , maka anak yang dilahirkan
tetap dipandang sebagai anak zina,tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki
yang menghamili tadi,hal ini karena keberadaan janin itu dalam kandungan lebih
dahulu dari pada pernikahan dilaksanakan.[x]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal yaitu harus
menunggu sampai lepas masa iddah selesai. Masa iddahnya itu sendiri yaitu
sampai anak dalam kandungannya lahir.
Hukum menikahi wanita hamil sebab zina yaitu terjadi perbedaan pendapat
diantara para ulama, yaitu ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang
mengatakan tidak boleh. Namun pada surat An-Nur ayat 3 sudah dijelaskan bahwa
wanita pezina harus menikah dgn laki-laki pezina dan hukum nya haram jika
seorang mukmin menikahi laki-laki pezina tersebut.
Pada dasarnya
nasab anak zina hanya dihubungkan dengan ibunya.Sesuai dengan hadits
Nabi”al-walidu lil-firsasyi” yaitu seorang anak hanya milik ibunya. Namun
terjadi beberapa perbedan pendapat untuk masalah ini.
B.
SARAN
Dengan
mempelajari makalah ini, penulis menyarankan agar kita mampu mengambil Himah
dari yang terjadi dalam kihidupan dunia saat ini, sehingga dapat dipahami dan
diamalkan dari penjelasan dari bahan ini ke dalam yang terkait dengan Hukum Pernikahan Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Qardhawi,Yusuf,Prof.Dr,dkk,2009,Ensiklopedi Muslimah Modern,Depok:
Pustaka Iman.
Drs.H.M.Anshary
MK,S.H,M.H,2010,Hukum Perkawinan Di Indonesia,Pusataka Pelajar
Zainuddin,Ali,M.A.Prof.Dr.H,2006,Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta:Sinar
Grafika.
Drs. Cut Aswar,MA. 1994. Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta: Pustaka Firdaus Oleh Ibnu Umar, Joko Septiono dan Siti Muslikhatun
Citra Umbara. 2012. UU R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum
Islam, Bandung : Citra Umbara.
[i]
http//akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/hakikat
dakwah salafiyah.
[iv]
Drs. H.M. Anshary MK,S.H,M.H. 2010. Hukum
perkawinan di indonesia: masalah-masalah krusial. Jakarta:
Pustaka Pelajar, Halaman 58.
[v]
Prof. Yusuf
Qardhawi,dkk.2009.Ensiklopedia muslimah modern. Depok: pustaka Iiman
[vi]
Ibid
[vii]
Drs. Cut Aswar,MA. 1994. Problematika
Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, Halaman 54
[viii]
bid, halaman 56
[ix]
Ibid
[x]
Drs. H.M. Anshary MK,S.H,M.H. 2010. Hukum
perkawinan di indonesia: masalah-masalah krusial. Jakarta:
Pustaka Pelajar, Halaman 42.
Belum ada tanggapan untuk "Fiqih #menikahi wanita hamil"
Post a Comment