Contoh Makalah "Hadist Larangan Korupsi,Kolusi,Nepotisme"
Dowload Lengkap nya Klik disini
BAB
I
PEDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme dan Suap (KKN) di Indonesia bukan lagi merupakan sebuah fenomena,
melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di mana-mana. Kini, setelah rezim
otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa praktik KKN selama ini terbukti
telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas, berurat akar dan
menggurita dalam masyarakat serta sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat
hingga lapisan kekuasaan yang paling bawah.
Berbicara tentang korupsi dan kolusi di negeri kita tercinta ini sangat tidak asing dan bahkan sering
disorot oleh media masa, seakan korupsi dan kolusi
menjadi makanan yang empuk bagi para pejabat baik tingkat daerah maupun
nasional. kendati sudah ada institusi negara yang sangat besar yang khusus
mengatasi korupsi, namun masih banyak mereka masih tetap tenang untuk makan
uang haram ini. Adapun menurut hukum Islam sudah jelas itu hukumnya haram dan
banyak hadis-hadis Nabi yang menerangkan tentang hal itu.
Terdapat
banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan pengertian korupsi,
meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu menjauh dari hakikat
dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang menggunakan istilah
“ikhtilas” untuk menyebutkan prilaku koruptor, meskipun dalam kamus di temukan
arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang lain. Sementara itu
terdapat pengungkapan “Ghulul” dan mengistilahkan “Akhdul Amwal Bil Bathil”,
sebagaimana disebutkan oleh al-qur’an dalam surat al-baqarah : 188
وَلا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”
B.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah:
·
Untuk mempelajari hadis-hadis Nabi yang
menerangkan tentang larangan korupsi dan kolusi.
·
Untuk memberikan pengetahuan kepada
pembaca tentang hadis-hadis larangan korupsi dan kolusi.
·
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis.
C.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
·
Alasan kenapa korupsi dan kolusi
diharamkan dalam Islam.
·
Penjelasan tentang diharamkannya
menyuap.
·
Larangan bagi para pejabat untuk
menerima hadiah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Korupsi, Kolusi, Nepotisme
a)
Pengertian
korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa inggris , yaitu corruption,
yang artinya penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan
sebagainya, untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
b)
Pengertian
kolusi
Kata kolusi berasal dari bahasa inggris , yaitu collution,
artinya : kerja sama rahasia untuk
maksud tidak terpuji
c)
Pengertian
nepotisme
Kata nepotisme berasal dari bahasa inggris, yaitu nepotism,
artinya : kecenderungan untuk mengutamakan ( menguntungkan ) sanak saudara
sendiri, terutama dalam jabatan , pangkat di lingkungan pemerintah, atau
tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan.
Dengan
pengertian menurut bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa Korupsi, Kolusi,
Nepotisme adalah tingkah laku, baik dilakukan sendiri atau bersama-sama yang
berhubungan dengan dunia pemerintahan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara
Kriteria KKN
adalah sebagai berikut :
·
Penyalahgunaan wewenang untuk
kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok.
·
Penyelewengan
dana, seperti dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :
·
Pengeluaran
fiktif
·
Manipulasi
harga pembelian atau kontrak
·
Menerima
suap untuk memenangkan yang bathil
Penyebab atau
sumber KKN tersebut antara lain sebagai berikut :
·
Proyek
pembangunan fisik dan pengadaan barang , hal ini menyangkut harga , kualitas
dan komisi.
·
Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi
bea masuk barang dan penyelundupan administratif.
·
Perpajakan yang menyangkut proses
penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan pajak .
·
Pemberian
fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa pungutan
liar atau suap.
Berdasarkan apa yang disebutkan diatas, maka kriteria korupsi dapat
diformulasikan sebagai suatu tindakan berupa penyelewengan hak , kedudukan,
wewenang, atau jabatan yang dilakukan untuk mengutamakan kepentingan dan
keuntunga pribadi , menyalahgunakan
amanat rakyat dan bangsa, memperturutka hawa nafsu serakah untuk memperkaya
diri dan mengabaikan kepentingan umum.
Kriteria kebijakan atau tindakan apakah
itu nepotisme atau tidak, memang tidak selalu harus dilihat dari perspektif ada
tidaknya hubungan darah atau kekerabatan seseorang dengan pihak tertentu. Islam
memberikan petunjuk mengenai pemilihan dan pengangkatan seseorang untuk
menjabat suatu kedudukan atas dasar
pertimbangan kapabilitas ( kemampuan dan rasa tanggung jawab) , profesionalitas
( keahlian ) dan moralitas
Ketiga kriteria yang telah
disebutkan tadi dibenarkan oleh islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran
Surah Taha ayat 29-34,berkenaan dengan pengangkatan Harun saudara kandung Nabi
Musa menjadi Nabi untuk mendampinginya dalam mengamban risalah kenabian.
واجعل لي وزيرامن اهلى
هارون اخى اشدد به ازري واشركه في امرى ( كي نسبحك كثيرا ونذكرك كثير انك كنت بنا بصيرا قال قد اوتيت سؤلك يا موسى ولقد مننا عليك مرة اخرى
"Dan kami jadikanlah untukku seorang pembantu dari
keluargaku (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah kekuatanku dengan (adanya)
dia, dan jadikanlah dia teman dalam urusanku, agar kami banyak bertasbih
kepada-Mu, dan banyak mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha melihat (keadaan)
kami. Dia berfirman „Sungguh telah diperkenankan permintaanmu, wahai Musa ! Dan
sungguh, Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kesempatan yang lain (sebelum
ini)". (Thaha/20 ; 29-34)
B.
Tindak Pidana Korupsi Perspektif
Hukum Islam
Tindak
pidana korupsi sejatinya adalah salah satu tindak pidana yang cukup tua
usianya. Hal ini dapat ditelusuri melalui sejarah klasik Islam yaitu pada masa
Rasulullah sebelum turunnya surat Ali Imran ayat 161. Saat itu, kaum muslimin
kehilangan sehelai kain wol berwarna merah pasca perang. Kain wol yang sebagai
harta rampasan perang itu pun diduga telah diambil sendiri oleh Rasulullah Saw.
Untuk menghindari keresahan kalangan muslim saat itu, Allah pun menurunkan
surat Ali Imran ayat 161 yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ
بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا
كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
Artinya: “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian
tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali ‘Imran (3) :
161)
Tindak
pidana korupsi sangat identik dengan penyalahgunaan jabatan yang didefinisikan
sebagai perbuatan khianat dalam perspektif Islam. Karena jabatan yang telah
disandang oleh seseorang adalah sebuah kepercayaan dari rakyat yang telah
terlanjur menaruh harapan padanya. Atau jabatan yang langsung dibebankan atas
nama negara yang tentunya bertujuan untuk menjalankan berbagai program yang
bermuara kepada kesejahteraan rakyat. Terlebih lagi jika amanat itu menyentuh
pada ranah hukum seperti pegawai pada bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman,
dll yang berbasis kepada keadilan yang diinginkan oleh semua pihak. Amanat yang
telah diemban itulah yang tentunya wajib untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Allah swt berfirman dalam beberapa ayat mengenai keajiban menjalankan amanat,
yaitu:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal (8) : 27)
Amanat
tentunya adalah sebuah kepercayaan yang wajib untuk dipelihara dan disampaikan
kepada yang berhak menerimanya. Allah swt berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن حۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرً۬ا
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.” (QS. an-Nisa (4) : 58)
Ayat-ayat
tersebut menunjukkan adanya kewajiban menyampaikan amanat dan memelihara amanat
yang telah dibebankan kepada orang yang dipercayanya. Sehingga apabila
kewajiban yang tidak ditunaikan, tentunya terdapat keharaman dan hukuman yang
mengiringinya.
Seperti
beberapa jenis, tipologi atau etimologi mengenai korupsi yang telah disebutkan
di atas, maka salah satu dari tipologi itu adalah suap menyuap, yaitu perbuatan
dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang yang memiliki kekuasaan
agar dapat memengaruhinya atau memenuhi keinginannya. Al-Qur’an menjelaskan
mengenai keharaman melakukan suap atau korupsi dan juga sabda Rasulullah saw
mengenai pelaku suap menyuap, yaitu:
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٲلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَـٰطِلِ
وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُڪَّامِ لِتَأۡڪُلُواْ فَرِيقً۬ا مِّنۡ أَمۡوَٲلِ ٱلنَّاسِ
بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya
: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS.
al-Baqarah (2) : 188)
لعنة الله عليه الرشى والمرتشى ( رواه احمد وابو داود والترمذى وابن ماجه عن
ابن عمر)
Artinya : “Allah melaknat orang yang menyuap dan memberi suap” (HR. Ahmad,
Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
Tindak
pidana korupsi pun dikategorikan sebagai perbuatan penipuan (al-gasysy)
yang secara tegas disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa Allah mengharamkan surga
bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Rasulullah saw bersabda:
“ Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata :aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: “ seorang hamba yang dianugerahi jabatan
kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya, maka Allah menghrmakannya masuk
surga.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam
hadis lain juga disabdakan mengenai tindak pidana korupsi yang termasuk dalam
kategori penipuan yaitu:
من استعملناه على عمل فرزقناه رزقا
فما اخذ بعد ذلك فهو غلول (رواه ابو داود
والحاكم عن بريدة )
Artinya : “ Barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu
aku beri gajinya, maka sesuatu yng diambil di luar gajinya itu adalah penipuan
(haram).” (HR. Abu Daud, Hakim dari Buraidah)
Kata
“ghulul” dalam teks hadis tersebut adalah penipuan, namun dalam sumber
lain diartikan bahwa “ghulul” adalah penggelapan yang berkaitan dengan
kas negara atau baitul mal. Dalam al-Qur’an sendiri, terdapat kata “ومن يغلل “
yang diartikan sebagai perbuatan berkhianat atas harta rampasan perang
Secara
umum, korupsi dalam hukum Islam lebih ditunjukkan sebagai tindakan kriminal
yang secara prinsip bertentangan dengan moral dan etika keagamaan, karena itu
tidak terdapat istilah yang tegas menyatakan istilah korupsi. Dengan demikian,
sanksi pidana atas tindak pidana korupsi adalah takzir, bentuk hukuman yang
diputuskan berdasarkan kebijakan lembaga yang berwenang dalam suatu masyarakat.
Hadis-hadis
yang disebutkan di atas pun tidak secara tegas menyebutkan bentuk sanksi yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Nash-nash tersebut hanya menunjukkan
adanya keharaman atas perbuatan korupsi yang meliputi suap menyuap,
penyalahgunaan jabatan atau kewenangan, dsb.
Sehingga
ayat dan hadis di atas hanya menunjukkan kepada sanksi akhirat. Hal ini
mengingat bahwa syariat Islam memang multidimensi, yaitu meliputi dunia dan
akhirat. Untuk menjerat para koruptor agar dapat merasakan pedihnya sanksi
pidana, maka dapat dijatuhi sanksi takzir sebagai alternatif ketika sebuah
kasus pidana tidak ditentukan secara tegas hukumannya oleh nash.
Bila
dilihat lebih lanjut, tindak pidana korupsi agak mirip dengan pencurian. Hal
ini jika kita melihat bahwa pelaku mengambil dan memperkaya diri sendiri dengan
harta yang bukan haknya. Namun, delik pencurian sebagai jarimah hudud, tidak
bisa dianalogikan dengan suatu tindak pidana yang sejenis. Karena tidak ada
qiyas dalam masalah hudud. Karena hudud merupakan sebuah bentuk hukuman yang
telah baku mengenai konsepnya dalam al-Qur’an.
Kemudian
terdapat perbedaan antara delik korupsi dan pencurian. Dalam tindak pidana
pencurian, harta sebagai objek curian berada di luar kekuasaan pelaku dan tidak
ada hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan pada delik korupsi, harta
sebagai objek dari perbuatan pidana, berada di bawah kekuasaannya dan ada
kaitannya degan kedudukan pelaku. Bahkan, mungkin saja terdapat hak miliknya
dalam harta yang dikorupsinya. Mengingat dapat dimungkinkan pelaku memiliki
saham dalam harta yang dikorupsinya.
C.
Sangsi tindak pidana Korupsi Dalam
Perspektif Islam.
Islam
sebagai sistem nilai memegang peranan penting untuk memberikan pencerahan nila,
penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak dengan
memanfaatkan potensi baik setiap individu, yaitu hati nurani. Lebih jauh islam
tidak hanya berkomitmen dengan upaya pensalehan individu, akan tetapi jungan
pensalehan social. Dalam pensalehan social ini islam mengembangkan semangat
untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling
menasehati. Pada dasarnya islam mengembangkan semongat control social. Dalam bentuk
lain, islam juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim
yang mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistem pengawasan
administrative dan managerial yang ketat. Oleh sebab itu dalam memberikan dan
menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia
adalah seorang pejabat ataukah lainnya. Tujuan hukuman tersebut adalah
memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan,
sehingga dapat diciptakan rasa dama, dan rukun dalam masyarakat.
Ta’zir
ialah hukuman terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara tegas bentuk
sangsinya didalam nash. Hukuman ini dijatuhkan unutk memberikan pelajaran
terhadap terpidana agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan,
jadi jenis hukumannya disebut dengan Uqubah Mukhayyarah (hukuman
pilihan).
Penerapan
Ta’zir bagi pelaku korupsi.
Hukuman
ta’zir dapat diterapkan kepada pelaku korupsi. Dapat diketahui bahwa korupsi
termasuk dalam salah satu jarimah yang tidak disebutkan oleh nash secara tegas,
oleh sebab itu ia tidak termasuk dalam jenis jarimah yang hukumannya adalah had
dan qishash. Korupsi sama halnya seperti hukum Ghasab, meskipun harta yang
dihasikan sipelaku korupsi melebihi dari nashab harta curian yang hukumannya
potong tangan. Tidak bisa disamakan dengan hukuman terhadap pecuri yaitu potong
tangan, hal ini disebabkan oleh masuknya syubhat. Akan tetapi disamakan atau
diqiyaskan pada hukuman pencurian yang berupa pencurian pengambilan uang hasil
curian.
Dalam
korupsi ada tiga unsur yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam
menentukan besar hukuman, yaitu :
·
Perampasan harta orang lain.
·
Penghianatan atau penyalahgunaan
wewenang.
·
Kerjasama atau kongkalikong dalam
kejahatan.
Ketiga
unsur tersebut telah jelas dilarang dalam syari’at islam. Selanjutnya
tergantung kepada kebijaksanaan akal sehat keyakinan dan rasa keadilan hakim
yang didasarkan pada rasa keadilan masyarakat untuk menentukan hukuman bagi
pelaku korupsi. Meskipun seorang hakim diberi kebebasan untuk mengenakan
ta’zir, akan tetapi dalam menentukan hukuman seorang hakim hendaknya
memperhatikan ketentuan umum perberian sangsi dalam hokum pidana islam yaitu.
·
Hukuman hanya dilimpahkan kepada orang
yang berbuat jarimah, tidak boleh orang yang tidak berbuat jahat dikenai
hukuman.
·
Adaya kesengajaan seseorang dihukum
karena kejahatan apabila ada unsur kesengajaan untuk berbuat jahat, tidak ada
kesengajaan berarti karena kelalaian, salah, atau lupa. Meskipun demian karena
kelalaian salah atau lupa tetap diberikan hukuman, meskipun bukan hukuman
kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan yang bersifat mendidik.
·
Hukuman hanya akan dijatuhkan apabila
kejahatan tersebut secara meyakinkan telah diperbuatnya.
·
Berhati-hati dalam menentukan hukuman,
membiarkan tidak dihukum dan menyerahkannya kepada allah apabila tidak cukum
bukti.
Batas
minimal hukuman ta’zil tidak dapat ditentukan, akan tetapi adalah semua hukuman
menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan, tindakan atau diasingkan.
Terkadang seseorang dihukum ta’zir dengan memberinya nasehat atau teguran,
terkadang juga seorang dihukum ta’zir dengan mengusirnya dengan meninggalkannya
sehingga ia bertaubat.
Uraian
tersebut menegaskan bahwa hukuman jarimah ta’zir sangatlah bervariasi mulai
dari pemberian teguran sampai pada pemenjaraan dan pengasingan. Mengenai Uqubah
sendiri dibagi menjadi dua yaitu :
·
Pidana atas jiwa (Al-Uqubah
Al-Nafsiyah), yaitu hukuman yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang,
seperti peringatan dan ancaman.
·
Pidana atas badan (Al-Uqubah
Al-Badaniyyah), yaitu hukuman yang dikenakan pada bagan manusia seperti
hukuman mati atau hukuman dera, dan lain sebagainya.
·
Pidana atas harta (Al-Uqubah
Al-Maliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas harta kekayaan seseorang,
seperti diyat, denda, dan perampasan.
·
Pidana atas kemerdekaan, yaitu hukuman
yang dijatuhkan kepada kemerdekaan manusia seperti hukuman pengasingan (Al-Hasb)
atau penjara (Al-Sijn).
D.
Upaya yang Dapat Ditempuh dalam
Pemberantasan Korupsi
Ada beberapa upaya yang
dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia, antara lain
sebagai berikut :
·
Upaya Pencegahan
(Preventif)
- Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
- Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
- Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
- Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
- Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
·
Upaya penindakan (kuratif).
Upaya penindakan, yaitu
dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan,
dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh
penindakan yang dilakukan oleh KPK :
- Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
- Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
- Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
·
Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
- Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
- Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
- Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
- Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
- Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
·
Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat).
- Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Korupsi ialah perilaku yang buruk yang tidak legal dan
tidak wajar untuk memperkaya diri
·
Haram hukumnya melakukan korupsi, kolusin dan nepostisme,
tetapi khusus nepotisme haram hukumnya jika yang diserahi jabatan tidak
profesional, tidak memiliki kapabilitas dan tidak mempunyai moralitas yang
sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadits.
·
Korupsi mengakibatkan kurangnya pendapatan Negara dan
kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah.
·
Agama Islam mengakui adanya hak milik pribadi yang berhak
mendapat perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat.
·
KKN diharamkan karena bertentangan dengan ajaran
Al-Quran, Hadits, dan tujuan syariat, selain itu juga bertentangan dengan rasa
kemanusiaan dan rasa keadilan, pula karena merugikan orang lain, masyarakat dan
negara.
Merangkai
kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam
bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian
untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar KKN yang menjadi penghambat utama lambatnya
pembangunan di Indonesia. KKN
yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena
pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang
sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan KKN seakan hanya menjadi komoditas politik,
bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan
masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin
mewabahnya penyakit kotor KKN
di
Indonesia.
B.
Saran
Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan
sejak dini. Dan pencegahan KKN dapat dimulai dari hal yang kecil. Undang-undang
yang harus dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Agar KKN
tidak lagi menjadi budaya di negara ini.
Dengan adanya
penjelasan di makalah ini semoga kita semua memahami betul akan bahayanya
korupsi dan kolusi jika masih tetap menyebar luas di tanah air ini. Dan semoga
kita semua terhindar dari apa yang namanya korupsi, kolusi dan perbuatannya
yang lainnya yang dilarang oleh Agama Islam.
Belum ada tanggapan untuk "Hadist Tentang korupsi,Kolusi & Nepotisme"
Post a Comment